Minggu, 10 Oktober 2010

Sulitnya ber-Investasi di China

Dalam waktu 30 tahun lebih terakhir ini, perekonomian China telah bertumbuh dua hingga tiga kali lipat cepatnya bila dibandingkan dengan Amerika Serikat. Pertumbuhan tersebut bahkan tetap berlanjut di tahun-tahun resesi ini. Perekonomian Asia telah mengambil alih kendali atas perekonomian barat—walaupun performa dan kinerja ekonomi di beberapa negara di Asia sebenarnya masih belum bagus. Mengapa demikian? Tentu tidak terlepas dari kultur, tradisi dan kebiasaan berbisnis di Asia, terutama di China.
Mulai dekade awal abad ke-20, Shanghai sudah menjadi salah satu tempat paling menarik untuk berbisnis maupun bersenang-senang. Orang China, Inggris, Rusia, India, Austria, Belanda, Perancis dan banyak lagi bangsa lainnya, berinteraksi dan berdagang dengan lifestyle yang harmonis, eksotis dan penuh kesenangan.
Dalam berbisnis di tingkat formal, diperlukan tingkat kesabaran dan kegigihan yang cukup tinggi. Perusahaan harus mengerti kultur China, seperti bagaimana menghormati hirarki keluarga atau struktur organisasi perusahaan, serta mengerti bagaimana kompleksnya relationship bisa mendukung hubungan dengan para pemasok domestik. Semua ini bisa membantu dalam memperkuat dan memelihara hubungan bisnis jangka panjang.
Bila berurusan dengan pabrik atau manufaktur, seringkali tidak diperlukan surat-surat kontrak yang terlalu rumit. Tidak seperti di barat—di mana surat kontrak dianggap sebagai sesuatu yang “sakral” dan harus dibuat dengan waktu dan informasi yang cukup banyak dan lama—di China seringkali proses produksi atau bisnis bahkan sudah dimulai sebelum surat kontrak selesai dibuat. Kecepatan sangat penting jika berbisnis di China. Mereka akan merilis produk terlebih dahulu, baru kemudian melakukan revisi atau meng-upgrade. Upgrade produk dilakukan berdasarkan pengalaman, kritik dan respons yang didapat dari para konsumen. Pabrik-pabrik dan tempat kerja di China seringkali terlihat biasa saja, bahkan kadang terkesan sangat berantakan. Tidak seperti kebanyakan kantor orang barat yang terlihat mewah dan megah, orang-orang China lebih mementingkan efisiensi. Suasana berantakan lebih dilihat sebagai tanda adanya aktivitas atau sesuatu yang sedang dikerjakan.
Bila menyangkut produk-produk berteknologi tinggi, negara barat sering ketinggalan karena masalah hak paten. Bagi orang barat, hak paten itu begitu pentingnya, sehingga proses produksi dan launching produk sering terhambat. China seringkali masuk lebih dulu merilis produk, sementara hak paten diurus belakangan. Mengapa? Karena produk-produk berteknologi tinggi seringkali berganti model dan diperbaharui. Begitu model kedua dirilis, model pertama akan ketinggalan zaman dan tidak ada gunanya lagi untuk ditiru oleh kompetitor. Dengan demikian, di China biasanya urusan hak paten itu diabaikan terlebih dahulu. Jangan kaget jika banyak orang barat yang sudah mengerti akan hal ini dan meng-outsource semua pekerjaan proses produksi produk-produknya ke sana.
Pemerintah China telah memperlihatkan ambisi yang besar bagi Shanghai untuk menjadi brand ambassador China. Bukanlah kultur dan budaya China untuk menggembar-gemborkan cerita-cerita sukses. Budaya mereka lebih pada “mengerjakan sesuatu daripada membicarakannya”. Mungkin mirip dengan slogan Nike, “Just Do It”—lakukan saja dulu—revisi lagi belakangan. Walaupun terkadang terkesan terlalu terburu-buru dan minim planning, tetapi mereka tentunya belajar dari pengalaman. Kualitas, kinerja dan performa produk mereka sedang berkembang dengan pesat.
(Majalah MARKETING/Ivan Mulyadi)

Penulis :
Banyak pabrik berdiri di China dengan sangat pesat,dikarenakan importir asing terutama dari Amerika berbondong-bondong mengalihkan produksinya ke China, para importir ini tertarik dengan biaya produksi yang rendah, contohnya Perusahaan Kosmetik Dan Kesehatan Jhonson Carter pertama kali memesan sampho dengan biaya produksi hanya $ 1 / pc, bagaimana mungkin ? Hal itu menjadi pertanyaan para eksekutif JC karena dengan harga produksi sebesar itu, pabrik tidak mendapat laba sepeser pun, tetapi pabrik rekanan China menyanggupinya bahwa mereka setuju dengan harga tersebut. Maka pihak JC menandatangani kontrak pemesanan produk dalam jumlah besar dan jangka waktu panjang.
Tetapi apa yang terjadi selanjutnya ? Alih-alih kenaikan harga baku di pasaran pihak pabrik setelah 2-3 kali pengiriman ke Amerika, pabrik meminta kenaikan harga produksi yang cukup besar, selain itu sejak pengiriman pertama , Pabrik di China sudah memainkan kualitas : dari kualitas dus untuk packing , keemasan botol plastik sampai bahan sampho itu sendiri. Sehingga bisa dibayangkan kerugian dari pihak JC yang menanggung pengembalian produk mereka dari pengecer karena masalah kualitas.
Pemerintahan China sangat lemah dalam masalah hukum bisnisnya, sehingga pihak importir kesulitan untuk membawa masalah ini ke pengadilan , dan pihak importir sangat kesulitan untuk mengalihkan produksi ke pabrik lainnya di karenakan hubungan antara pemilik pabrik di China sangat kuat dan mereka tidak akan “mengkhianati” bangsa sendiri.
Belum lagi masalah pemalsuan produksi di China sudah menjadi hal yang biasa, karena pemerintahan China “melindungi” pabrik yang memalsukan barang dari luar yang di pesan di China kemudian di palsukan untuk dijual ke negara berkembang, bukan ke negara tujuan yang mempunyai hak paten atas barang tsb.

CARA PENGAMBILAN KEPUTUSAN
1. Mengembangkan program alternatif tindakan
- Pihak importir mencari kompetitor pabrik dan menawarkan harga produksi yang sama
- Pihak Importir menempatkan perwakilan di pabrik untuk mengawasi produksi
- Menjaga hubungan baik ke pihak pengecer untuk saling mengontrol barang produksi

2. Manajemen Sistem Pendukung Technologi
- Membangun sistem Enterprise Resource Planning (ERP) secara bersama, antar pabrik dan importir , metode ini tidak semua pabrik akan menyetujui karena, pabrik di China sering merahasiakan keseluruhan manajemennya

Penulis :
Yaziardinata / MMSI-37 SIB